Wednesday, January 9, 2013

Kita paham, mereka?

Hontouni kanashi….. T.T
Itulah yang saya rasakan setelah menonton episode pertama drama Jepang berjudul “Mother”. Drama ini dibintangi artis cilik bernama “Ashida Mana”. Saya sedang tergila-gila dengan anak ini, setelah menonton drama yang ia bintangi “Beautiful rain”. Oke, sekarang mari kita bahas "Mother" terlebih dahulu. Salah satu teman saya menulis tentang drama ini. Maka, langsunglah saya mencarinya dan menontonnya.


Sebenarnya saya sedang ujian, tapi baiklah, demi menuntaskan rasa penasaran saya, "Satu episode saja sebelum belajar" begitu pikir saya. Namun setelah episode pertama, saya merasa harus segera menulis sesuatu tentang ini. Tidak bisa tidak!
Wahai bahan ujian, sabarlah menanti yaa....:p

Seperti drama Jepang lainnya, selalu ada hal atau pelajaran hidup yang dapat saya petik. Saat menonton drama ini, di episode pertama, sang tokoh utama (Rena) merupakan anak berumur 7 tahun. Ia mengalami kekerasan di rumahnya (child abuse).

Nao, wali kelas Rena, suatu malam melihat Rena meloncat-loncat dan berusaha memasukkan tangannya ke dalam kotak pos yang ada di pinggir jalan. Nao bingung dan penasaran, namun ia memutuskan untuk tidak ambil pusing. Kehidupan mereka terus berlanjut.

Hingga suatu hari Rena mendapatkan perlakuan sangat buruk oleh ibu dan teman lelaki ibunya. Ia dimasukkan ke dalam kantong plastik sampah dan diikat serta diletakkan di pinggir jalan. Nao, yang hendak mengembalikan buku Rena yang tertinggal, menemukan dan menyelamatkan Rena. Rena tidak sadarkan diri. Ia membawa Rena ke rumahnya.


Dalam keadaan panik dan tidak tahu berbuat apa, Nao bertanya banyak hal saat Rena siuman. Rena tidak menjawab apapaun. Saat Nao bertanya apakah ia ingin pergi ke suatu tempat, Rena menjawab bahwa ia ingin pergi ke Sapporo. Saat ditanyakan alasannya, Rena menjawab bahwa ia ingin pergi ke mailbox (kotak surat) bayi yang ada di Sapporo. Nao bingung, Rena menanyakan apakah anak berumur 7 tahun dan memiliki tinggi 104 cm dapat masuk dalam kotak surat dan dapat pergi ke sana. Rena menyerahkan secarik foto copian koran yang berisi berita kampanye penyelamatan bayi dimana ibu-ibu dapat menyerahkan bayi mereka ke tempat tersebut, di kertas tersebut tertulis alamat (mailbox) yang beralamat di Sapporo. Betapa Nao shock dan terpukul mengetahui bahwa Rena selama ini ingin melarikan diri dari rumahya yang penuh penyiksaan. Kejadian malam lalu, saat rena berjinjit-jinjit di depan kotak surat, terjawab sudah.

Terlepas dari pelajaran besar tentang kampanye melawan child abuse yang diajarkan oleh drama ini, terdapat pelajaran lain yang sangat melekat dalam diri saya. Dimana, apa yang kita mengerti, belum tentu mereka (anak-anak) mengerti. Kita paham dengan kotak surat dan mengajukan laporan child abuse atau apapun itu dengan surat. Namun Rena mengartikannya berbeda, ia mengira bahwa ia dapat selamat dengan dikirimkan melalui kotak surat tersebut. Betapa hal tersubut sederhana bagi kita namun tidak bagi anak-anak, benar-benar ironi yang menyayat hati. Bagaimana Rena setiap malam berusaha masuk ke dalam kotak surat.


Di awal drama, digambarkan sosok Rena yang pintar dan memiliki daya nalar yang sangat baik. Namun anak-anak tetap lah anak-anak. Mereka memiliki keterbatasan. Mereka yang berumur 7 tahun, sepintar apapun, sejenius apapun, sehebat apapun, mereka belum hidup di dunia selama kita hidup!! 15 tahun? 20? 30? Apa yang kita dapatkan dari hidup, apa yang kita pelajari, walau kita tidak jenius, jauh lebih banyak dari apa yang mereka sudah dapatkan.


Kita sering mengganggap anak-anak adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa, tidak ingin mereka banyak bertanya, ikut campur dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, secara tidak sadar kita menganggap mereka setara dengan kita. Kita berbicara dengan mereka sebagaimana kita bicara dengan orang lain. Padahal mereka tidak mengerti. Kita memperlakukan mereka sekehendak hati, menganggap mereka mengerti apa yang kita lakukan, padahal mereka bertanya-tanya apa yang sedang kita lakukan pada dirinya. Kita tanpa sadar membiarkan mereka terus bertanya dan "harus" paham dengan belajar sendiri.


Misalnya, kita menyuruh mereka sikat gigi, kita akan marah jika mereka tidak melakukannya, memaksanya dan menyikatkan giginya. Tanpa penjelasan, apa itu sikat gigi, mengapa harus sikat gigi, untuk apa, bagaimana jika tidak menyikat gigi, bagaimana jika menyikat gigi. Mungkin mereka tidak bertanya, tapi mengapa mereka menolak melakukannya? Sikat gigi bukanlah hal yang menyenangkan bagi mereka, meletakkan benda bernama odol dengan sensasi rasa tidak menyenangkan ke dalam mulut mereka, sikat-sikat yang membuat gusi mereka sakit, dll. Lalu, saat mereka tidak mengerti dan tidak mau, mengapa kita marah dan memaksa? Wajar saja mereka tidak mau! Mereka tidak mengerti! mereka tidak suka!

Disini kesalahan kita adalah kita terlebih dahulu menyuruh, memaksa, dll, sebelum menjelaskan, memberikan pemahaman dan meyakinkan mereka tentang perilaku menyikat gigi. Mereka bukan manusia 20 tahun yang berada di tubuh anak-anak yang paham tentang "menyikat gigi". Mereka harus diajarkan bagian terkecil, terdasar, sama halnya bagaimana mengucapkan A, menarik garis untuk membuat huruf A, menuntun tangannya, hingga akhirnya ia mandiri.

Aaaahhh......selama ini, saya banyak melakukan kesalahn, kasian anak-anak yang berada di sekeliling saya. begitu pikir saya setelah menonton episode pertama drama ini. Semoga kita bisa terus belajar dari hal-hal kecil yang bermakna besar.

*Salam sikat gigi.....#eh?

0 comments:

Post a Comment

Arigatou.. Visit Again Yaa... ~