Tahukan kawan, kalau saya disadakan bahwa saya benar-benar sudah tua. Sebenarnya tidak menjadi masalah buat saya menjadi tua. Hanya saja kata "tua" membuat saya harus lebih banyak bersabar, menggeleng kepala, dan bedecak (moga-moga gak berubah jadi cicak). Apa pasal? Pasalnya adalah saya dikelilingi oleh banyak anak-anak maupun "anak-anak" hehehe...
Semenjak beberapa praktikum yang harus saya lewati dan jalani membutuhkan testee anak-anak, maka intensitas pencarian anak dimulai. Mulai dari anak tetangga yang padahal sebelumnya disapa doang, sekarang minta pinjem. Sampe ke anak orang yang kenal pun enggak tapi demi praktikum, mari diangkuuuut. Hehehehe...
Tentunya beberapa hari sebelum praktikum, saya seharusnya melakukan pendekatan ke si anak. Tapi ini tidak saya lakukan, mengingat saya memang tidak terlalu dekat dengan anak-anak. Maka hal yang amat malas saya lakukan adalah melakukan pendekatan. Tapi Alhamdulillah tidak terjadi aksi mogok, merajuk maupun sinonim-sinonim lainnya sebelum maupun pada proses praktikum.
Dari hasil perbincangan saya dan anak-anak itu -lupa tepatnya kapan- entah bagaimana saya bertanya tentang optimis dan pesimis pada anak berumur 10 tahun. Ternyata ia tidak tahu apa itu pesimis dan optimis, tapi kata anak itu, sebelumnya ia pernah diajari di sekolah namun lupa apa artinya (anak itu mengangkat tangannya sambil mengerutkan dahi berfikir dan terlihat gemes sekali karena kenapa ia bisa lupa). Saya hanya tersenyum dan mulai berbicara tentang topik yang lain. Selesai percakapan itu, tiba-tiba saya teringat bahwa di umur 10 tahun tepatnya kelas empat, saya baru belajar 2 kata itu dan amat sulit membedakannya. Hmm....itu kira-kira 11 tahun yang lalu. Wuiiih....udah lama ya.
Dari situ saya terpikir, apa yang dianggap amat biasa pada orang dewasa ternyata tidak untuk anak-anak. Ketika saya mencoba mengingat kembali, ternyata saya dulu juga tidak bisa membedakannya di seusianya. Sebenarnya hal ini amat sering diungkapkan, dikatakan maupun diagungkan oleh orang-orang, tapi saya baru sekarang benar-benar merasakannya. Awalnya, saat ada yang mengatakan bahwa anak-anak itu ngak sama kayak orang dewasa dan kita ngak bisa memaksa mereka mengerti, karena pada dasarnya mereka memang tidak mengerti, saya angguk-angguk dan setuju saja. Tapi begitu ngerasain, ooo....gini toh rupanya. Ternyata tak semudah angguk-angguk.
Karena kejadiannya itu sama anak-anak, saya cuma bisa memaklumi, tapi kalau kejadian serupa tapi tak sama terjadi sama "anak-anak", maka saya cuma geleng-geleng kepala alias bingung. Contohnya: ada seseeorang yang berumur 19 tahun, ia sedih karena suatu hal, kemudian dia merasa itu adalah hal yang penting. Dia cerita ke saya, terus saya merasa itu bukan masalah buat saya, maka saya cuma bisa geleng-geleng dalam hati, maklum remaja. Selain itu dalam prinsip-prinsip konseling, harus dikedepankan bahwa apa yang konselor anggap masalah belum tentu masalah bagi klien dan apa yang menjadi masalah klien kadang bukan masalah bagi konselor. Lagi-lagi saya geleng-geleng dalam hati, namun ada sedikit pemakluman karena masih remaja.
Nah ini kejadiannya bukan pada anak-anak dan bukan remaja, alias dewasa. Saya benar-benar pingin geleng-geleng bukan dalam hati, tapi tetap ngak bisa karena lagi latihan jadi konselor yang baik. Kemudian saya berfikir, dosen saya bilang, saya harus empati (merasakan apa yang dirasakan klien), ternyata benar-benar sulit. Belum lagi ini masalahnya bukan pada anak-anak maupun remaja, sehingga akan lebih sulit "maklumnya" saya keluar. Masalah lainnya adalah akan amat sulit sekali memahami manusia, jika hal yang jelas-jelas ada di depan saya n jelas-jelas diutarakan saja, saya masih sulit melihatnya dan merasakannya dengan emapati. Weleh-weleh....(geleng-geleng lagi). Tiba-tiba saya merasa 10 kali lebih tua dari umur saya, dibanding kesadaran tua dengan anak-anak tadi yang saya ceritakan. Gara-gara mikirin gimana caranya empati n ngak terlalu banyak pake logika. Huuufff.