Assalamu'alaikum.....^_^
Mari saya awali posting ini dengan cerita masa-masa SMA (adalah masa yang paling indah) saya, *duileee....tarek maaang.
Dulu, saat saya sekolah, pelajaran yang paling saya sukai dengan sepenuh jiwa dan raga itu ada dua, Matematika dan Fiqih. kali ini, saya akan cerita tentang matematika, lain kali bakal ada cerita tentang fiqih, semoga.
Matematika selalu menjadi pelajaran favorit saya, kalau dibilang saya pintar matematika, maka jawabannya tidak juga. Saya bahkan pernah dapat O (nol) besar saat kelas 6 MIN, bab 'pangkat tiga'. Saya juga pernah dicubit oleh guru matematika karena saya tidak bawa mukena (saat itu jam pelajaran matematika di siang hari, masuk waktu zuhur dan kami diwajibkan bawa mukena dan break shalat berjama'ah). Tapi apapun itu, tidak pernah menyurutkan kecintaan saya.
Saat saya MAN, tepatnya kelas 3. Guru matematika saya memiliki cara mengajar yang menurut saya menarik. Walau mungkin menurut teman-teman lain tidak. Guru saya ini pintar sekali dan sangat rendah hati. Selalu mengajarkan segala sesuatu dengan lembut. Suatu hari, sebuah pengumuman disampaikan seusai pelajaran. Betapa terkejutnya kami saat diberi tahu bahwa pertemuan selanjutnya kami akan ujian. Riuh rendah suara-suara menyahut. Guru kami hanya tersenyum, kemudian melanjutkan pengumuman. Ujian akan dilaksanakan dengan cara yang sangat berbeda. Kami akan diminta memilih kertas undian berisi soal dan kemudian diminta untuk mengerjakannya di papan tulis dalam waktu yang ditentukan. Papan tulis dibagi ke dalam 4 bagian sehingga sekali maju akan ada 4 orang. Sisanya duduk dibangku dan boleh mengerjakan soal yang didapatkan temannya saat ujian. Karena siapa tau kami mendapatkan soal yang mirip. Saat pengumuman itu dibuat, gemparlah kelas. Sebagian cemas, sebagian lainnya biasa saja sambil berdoa'a.
Hari yang dijanjian pun tiba. Saya harap-harap cemas. Yang lain tidak saya cemaskan. Mata tertuju ke papan tulis yang mulai dibagi menjadi 4 bagian. Guru saya mengeluarkan potongan kertas berisi soal. Si Bapak akan menunjuk absen dengan mata tertutup. Tanganya yang menentukan siapa yang akan maju menjawab soal.
Saya tidak kena giliran untuk ronde pertama. Teman-teman yang "beruntung" maju dan mulai mengerjakan soal. Yang masi duduk di bangku, sibuk, ikut memecahkan soal. Sebagian sambil berkomentar, "iiih susah ya". Sebagian yang lain, "ih mudah kok soal yang dia dapat". Terlepas dari itu semua, yang di depan satu-satu ada yang gelisah, papan masih kosong. Dua yang lain mulai mengerjakan ragu-ragu. Satunya lagi lancar menulis bagai air mengalir. Ronde-ronde terus berjalan. Saat saya mendapat giliran maju ke depan, saya merasakan momok yang besar sedang menghadang di depan saya. Walau kemudian saya bisa mengerjakannya. Saat saya duduk, teman saya (A) berkata, "si juza bisa dia, eee aku tadi ngak bisa". Teman lain (B) pun berkomentar, "sebenarnya soal qe (A) tadi mudah, gini caranya", dia pun mengajarkan cara penyelesaian untuk soal yang gagal dikerjakan teman saya.
Saat semua sudah kena giliran, guru saya mengumumkan siapa-siapa saja yang harus mengikuti ujian susulan, formatnya biasa, ujian tertulis di kertas. Semua lega.
Dulu, saya berfikir ini adalah ujian matematika yang keren. Karena dengan cara ini tidak ada yang bisa menyontek. Dan saya berniat mengadakan ujian dengan cara ini jika saya menjadi guru. Itu saja.
Sekarang, saya melihatnya secara berbeda, ujian matematika dulu adalah sama dengan ujian kehidupan. Betapa tidak, kita mungkin sama-sama belajar matematika dalam kelas, tapi kitalah yang bertanggung jawab atas apa yang akan kita dapatkan di akhir pembelajaran, bukan orang lain. Kitalah yang menerima ujian, jangan menyelesaikannya dengan mengharapkan bantuan orang lain. Tidak saat ujian datang, lakukanlah saat belajar. belajar bersama.
Dalam kehidupan kita bersama-sama di dunia ini. Tapi yang menentukan apa yang akan kita dapatkan di ujung perjalanan hidup adalah apa yang telah kita lakukan, bukan yang orang lain lakukan. Ujian kehidupan milik kita, kitalah yang menyelesaikannya, mungkin sendiri, jarang bersama orang lain. Mereka punya urusannya sendiri. Bertanggung jawab pada diri sendiri.
Saat ujian matematika, saya merasa soalnya sangat sulit. Tidak mudah untuk dipecahkan. Tapi teman-teman yang duduk di bangku belakang dengan mudah mengerjakannya. Mereka melihat dari tempat yang berbeda terhadap soal ujian yang sama. Mereka menghadapi situasi yang berbeda dengan saya terhadap soal yang sama.
Dalam kehidupan, mungkin kita perlu mengambil jarak, melihat masalah dari jarak yang berbeda. Mundur ke belakang beberapa langkah, amati masalahnya, kerjakan, selesaikan. Kita perlu waktu, tenangkan jiwa dan emosi, amati masalahnya, sikapi dengan bijak.
Saat ujian matematika, teman mengerjakan ujian di depan, yang dibelakang tetap mencari jawaban. Padahal mereka bisa sibuk belajar, duduk santai, atau apalah. Tapi tidak, mereka mencari, takut-takut mereka mendapat soalan yang serupa.
Dalam kehidupan, orang lain mendapat masalah, sebaiknya kita belajar, melihat, mengamati, atau bahkan membantu. Kita bisa saja sibuk dengan kehidupan sendiri, duduk-duduk santai. Tapi, kita tetap memperhatikan dan belajar serta membatu, mungkin kita akan mendapatkan masalah yang sama. Kuncinya sudah ada di tangan.
Sekarang saya tahu, bahwa hakikat ujian sebenarnya sama saja. Ujian kehidupan maupun ujian matematika.
*Salam Matematika.....:D
2 comments:
ya,bisa juga diumpamakan kuliah
kita belajar 4 tahun sama-sama saling membantu
kerjain skripsinya juga saling membantu
tapi tetap harus menghadapi sidang sendirian :)
yup...yup...yup....:D
*skripsi...ohh....skripsiii....>.<
Post a Comment