Beberapa waktu yang lalu, terdengar kabar bahwa paket soal Ujian Akhir Nasional (UAN) akan ditambah menjadi 20 paket. Sudah pasti semua orang dengan profesi apapun akan ribut. Sekolah-sekolah melakukan pengajian bersama, tidak sedikit yang melakukan demo dan menentang adanya UAN, dan hal-hal ajaib lainnya. Satu hal yang menarik perhatian saya hingga akhirnya post ini ditulis adalah: salah satu teman facebok saya (lupa siapa namanya) menshare sebuah foto anak-anak sekolah yang sedang mengerjakan soal ujian, di dalam foto tersebut tertulis tentang bertambahnya paket soal ujian. Saat menshare foto ini ia menulis sebuah kalimat yang menurut saya terdapat pengakuan secara tidak langsung, isi tulisannya kurang lebih bermakna bahwa ia bersyukur saat ia ujian dulu, paket soal tidak sebanyak itu. Seingat saya, saat saya UAN MAN terdapat dua paket soal, mungkin pada masa adik ini paketnya bisa edisi 4 paket atau edisi 6 paket, saya kurang tau.
Yang menggelitik saya adalah kata-kata yang ia tuliskan, ia bersyukur akan paket yang sedikit. Secara korelasi, tidak ada hubungan antara jumlah paket dengan besarnya peluang ia lulus UAN. Setiap paket soal UAN dibuat dengan taraf kesulitan dan jenis yang sama, hanya dengan sedikit variasi angka, subjek, pilihan jawaban, dll. atau, hanya ditukar-tukar nomor soalnya. Hal ini saya ketahui dari Tim pembuat soal UAN. Jadi jika ia memang punya kemampuan yang cukup untuk lulus, maka ia akan dapat menjawab soal-soal UAN tersebut, paket manapun yang ia dapat bukan masalah.
Tapi lain ceritanya jika terjadi penyimpangan, misalnya: menyontek, soal yang bocor, tersebarnya kunci jawaban, dll. Maka akan ada korelasi antara jumlah paket soal dengan besarnya peluang lulus UAN. Mengapa? Karena jika ia menyontek, maka orang yang dia contek atau mintai jawabannya belum tentu sepaket dengan dia. Jika soalnya bocor, maka belum tentu soal yang ia dapat adalah soal yang bocor, kalaupun benar soal yang sama, maka ada 20 paket yang harus ia selesaikan. Jika tersebar kunci jawaban, maka akan banyak sekali kunci jawaban yang beredar, belum tentu semua paket ia punya kunci jawabannya. Semakin banyak paket semakin kecil peluang keberhasilan melakukan kecurangan.
Apa yang saya tulis di atas adalah hasil analisa dan penarikan hipotesis yang murni sangat subjektif menurut saya dan pengalaman saya di lapangan selama kurang lebih 12 tahun menjadi siswi.
Saya ingat dulu saat saya MIN, nilai kelulusan sudah tidak lagi berpatokan pada nilai UAN (dulu namanya NEM), tapi pada nilai keseluruhan, termasuk nilai UAS (Ujian Akhir Sekolah). Saat itu tidak ada bocoran soal atau jawaban yang saya terima. Jadi, saat ujian hanya mengandalkan kemampuan diri dan kemampuan partner in crime alias teman yang bisa diajak kerja sama dan bertukar jawaban.
Saat saya MTsN, sistem kelulusan yang berpatokan pada nilai UAN kembali diberlakukan. Ada tiga mata pelajaran (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris) yang diUANkan. Saat itu, ruang ujian dibagi berdasarkan nomor urut siswa (NIS). Jadilah saya satu ruangan dengan teman-teman saya dari kelas 1 dulu. Secara saya sudah kelas 3, maka teman-teman kelas 1 dulu, sudah tidak sekelas lagi dan berpencar-pencar. Hanya ada beberapa orang yang saya kenal cukup dekat hingga kelas 3. Satu ruang hanya terdiri dari kurang lebih 20 siswa dengan 2 orang pengawas. Saya dan salah seorang teman saya berjanji bahwa kami akan saling berkomunikasi saat ujian. Kami akan menyamakan jawaban ujian kami. Saya duduk di bangku kedua dari depan sedangkan teman saya sedikit jauh ke belakang dan kami terpisah satu deret meja lain. Hal ini membuat komunikasi sedikit terhambat. Jadilah setiap selesai menjawab semua soal secara individu, jika ada waktu kami menyamakan jawaban. Dalam proses meyamakan jawaban, jika salah satu di antara kami tidak tau, maka yang tidak tau akan dengan senang hati menerima jawaban yang tau. Namun lain ceritanya jika jawaban kami berbeda, biasanya kami berdua sama-sama yakin dengan jawaban masing-masing, sehingga terjadi perdebatan kecil. Hingga keputusan akhirnya ada di tangan masing-masing, mau mengubah atau tidak. Umumnya kami tidak mengubah jawaban. Saat ujian berakhir, di luar kelas kami akan melanjutkan perdebatan dua jawaban yang berbeda tadi, jika matematika kami mencarinya sama-sama, jika bahasa inggris kami membuka kamus dan jika bahasa indonesia kami membuka catatan atau menanyakan teman lain yang kami anggap pintar yang juga telah keluar ruang ujian. Biasanya perdebatan ini akan dimenangkan oleh saya...Hihihi. Lagi-lagi mengandalkan kemampuan diri dan partner in crime.
Dari dua masa sekolah saya diatas, ini adalah contoh yang SANGAT BURUK, saya melakukan kejahatan dan kecurangan dalam ujian, bekerja sama, menyontek dan memberi contekan, JANGAN DITIRU YA!!!!
Pada masa saya MAN, alhamdulillah saya dipertemukan dengan teman-teman yang luar biasa (teman-teman saya saat MIN dan MTsN juga luar biasa). Selain luar biasa teman-teman MAN saya ini juga istimewa. Saat duduk di kelas 1, saat ujian naik kelas dan ulangan, sistem partner in crime masi terus berlanjut. Tapi saat duduk di bangku kelas dua, sesuatu yang bersejarah dari hidup saya dimulai. Saya duduk sebangku dengan teman yang sangat tidak akrab dengan saya, kami berteman baik sebelumnya di kelas 1, tapi tidak terlalu dekat. tidak terfikir dalam benak saya secuil pun saya akan duduk dengan teman saya ini. Hingga akhirnya Yang Maha Kuasa berkehendak lain (taelaaaah, gaya bener, tapi saya serius!), saya pun duduk sebangku dengan teman saya ini. Saya ingin sekali menyebutkan namanya, tapi saya ragu apakah teman saya ini ingin disebut namanya, mengingat ia adalah sosok yang paling ikhlas yang pernah saya temui dan yang paling rendah hati. Jadi, saya sebut saja arti namanya ya, Cahaya (tapi, jadi berasa aneh dan geli sendiri, hehehe).
Saat saya duduk dengan Cahaya, saya jelas sekali merasa ragu bahwa saya akan benar-benar cocok dengannya, ternyata dia juga begitu (setelah duduk bersama kami saling mengaku, hehehe). Setelah berjalannya waktu, kami ternyata walau hampir setiap hari ribut-ribut kecil dan saling buat ulok, menjadi sangat cocok dan akrab. Saat itu, sedang terkenal-terkenalnya couple untuk teman sebangku. Jadi anak-anak kelas kami, menentukan siapa yang jadi suami (husband) dan siapa yang jadi istri (wife) untuk masing-masing pasangan sebangkunya. Saya dan Cahaya juga begitu, yang aneh dari kami adalah, sampai sekarang tidak jelas yang mana yang wife dan yang mana yang husband, dua-duanya kadang-kadang merasa menjadi wife dan menjadi husband. Hingga akhirnya kami membiarkan begitu saja.
Setelah berinteraksi hampir satu semester (6 bulan) kami saling menerima dan memberi satu sama lain,termasuk pemahaman, kepercayaan, sudut pandang, dll. Dari Cahayalah saya belajar bahwa menyontek dan memberikan contekan itu benar-benar hal yang buruk, berdosa, dan dilarang agama. Jadilah dia meyakinkan saya dan mengajak saya untuk sama-sama belajar untuk tidak menyontek dan memberi contekan. Cahaya sudah memulai hal mulia ini sejak lama, semenjak kami duduk sebangku, ia tidak pernah menanyakan jawaban ujian dari saya maupun teman yg lain. Terus melihatnya selama 6 bulan, saya mulai bertanya-tanya. Bisakah saya? Secara teori dan pemahaman, saya sangat yakin, namun untuk melaksanakannya saya sedikit ragu-ragu.
Bisakah saya menghilangkan kebiasaan SANGAT BURUK ini? Nantikan di episode berikutnya....hihihihi
(Sinetron indonesia banget ya....:p)
Bye...Bye....
*Salam sinetron
Bisakah saya menghilangkan kebiasaan SANGAT BURUK ini? Nantikan di episode berikutnya....hihihihi
(Sinetron indonesia banget ya....:p)
Bye...Bye....
*Salam sinetron
Gambar: Facebook.com & google.com
0 comments:
Post a Comment